Saturday, December 17, 2005

Yang Membela, Yang Terluka ( Tribute 2 : Tunggak )

Film title : Tunggak:Senjataku Kekidanto

Cerita diawali dengan gambar Tunggak, sang tokoh utama bernyanyi mars perjuangan. Meski tubuhnya tak sekuat pemuda muda usia, Tunggak berusaha menyanyikan lagu, yang menurutnya adalah nyanyian nostalgia saat ia masih berjuang membela kemerdekaan Indonesia. Pada scene berikutnya, diperlihatkan Tunggak yang sedang berjalan menyusuri jalan, manakala perayaan 17 Agustus 2005 lalu begitu meriah di Kota Semarang. Lengkap dengan mobil hias dan para calon perwira yang mahir memainkan alat musik dalam barisan marching band. Dengan baju kumal, tubuh kering itu berusaha berdiri di teriknya matahari dan berujar lirih dalam hatinya...."apa yang kaurasakan saat ini, sebagian adalah peluh keringat, dan luka tembakan yang menancap di kulitku..."

Tunggak, membangungkan aku dari sebuah kelupa dirian,keegoisan dan kesombongan yang kadangkala kuatasnamakan kemerdekaan. Mungkin, namanya memang tak sehebat Jendral Ahmad Yani, mungkin pesonanya tak sedahsyat Bung Karno, namun ada satu catatan yang layak kupikirkan hingga aku ingin menulisnya untuk sebuah penghormatan kepada orang berjasa yang kini terlupakan oleh bangsanya.

Lelaki tua renta ini, kini hidup di belakang bangunan Lawang Sewu,Semarang. Jangan membayangkan ia pahlawan yang masih kaya, hingga anak cucunya bisa menggunakan sisa hartanya untuk berbisnis. Tunggak hanya hidup di rumah yang nyaris rubuh. Tidak ada lampu disana, cahaya yang mengaliri rumahnya yang terbuat dari potongan triplek hanyalah cahaya yang memantul dari teriknya matahari siang. Jika hujan, bisa dipastikan rumah itu lebih mirip comberan. Tempat tidur reyot, beberapa piring dan gelas bekas...dan hanya itulah yang dimiliki Tunggak. Ia seringkali mendapatkan uang, dari wisatawan yang memang ingin membuktikan seberapa menyeramkan bangunan tua yang terletak di kawasan Tugu Muda itu.

Serpihan kebanggan Tunggak diperlihatkannya lewat beberapa piagam, dan foto-foto jaman dulu saat dia masih bergabung di barisan TKR. Mungkin piagam dan foto-foto inilah yang menjadi harta paling berharga untuknya. Dengan lancar ia bercerita tentang masa-masa kejayaannya kala muda. Ia sangat bangga karena bisa menjadi seorang pahlawan, yang merasakan bagaimana pedihnya merebut kemerdekaan.

Ironis, dan menyedihkan. Manakala bangsa ini mulai menggeliat, Tunggak seakan-akan menjadi sosok yang terlupakan. Pemerintah mungkin terlalu sibuk mengurusi masalah politik, korupsi, illegal logging dan segala masalah yang akhirnya akan berujung pada pembenaran. Pemerintah mungkin lupa, kalau apa yang dirasakannya saat ini, setidaknya apa yang disebut kemerdekaan dan lepas dari penjajahan adalah hasil peluh Tunggak dan Tunggak-Tunggak lainnya yang kini telah menjadi veteran. Hingga nasib sang pejuangpun bukanlah menjadi masalah yang seharusnya dipikirkan pemerintah.

Sebuah teladan pemerintahan yang sangat menjijikkan dan tidak manusiawi. Maaf, mungkin kata-kata ini terlalu kasar dan pedas. Tapi aku terlalu muak, dengan perilaku pemerintah yang semakin tidak menunjukkan rasa kemanusiaannya. Kalau tidak salah ingat, Pancasila mengajarkan lewat sila ke dua yang berbunyi : KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB...mungkin lebih tepat KEMANUSIAAN YANG CURANG DAN BIADAB...

Tidak ada gunanya perayaan 17 Agustus dengan genderang megah dan pawai nan mewah, atau pesta pora yang menghabiskan dana tak sedikit. Tolong, duduklah sejenak dan lihatlah kebawah, masih banyak pejuang yang tak jelas nasibnya sekarang. Mungkin Tunggak hanyalah satu dari sekian pejuang yang kini meminta perhatian pemerintah.

Karena terlalu lelahnya berjuang menaklukkan kejamnya hidup, Tunggak sampai tidak mengenal siapa kepala negaranya saat ini. Tunggak hanya mengenal 2 orang kepala negara...Soekarno dan Soeharto. Tunggak tak takut jika ia akan diadili hanya karena ia tidak tahu siapa presiden Indonesia saat ini, tapi inilah yang terjadi. Tunggak benar-benar tidak tahu ( lihat : TUNGGAK:SENJATAKU KEKIDANTO ).

Aku salut pada Tunggak, hingga di usianya ke 86, dengan taraf kehidupan sangat miskin, Tunggak masih tegar melanjutkan hidupnya. Ia masih tekun mencari recehan dari para wisatawan di sekitar Lawang Sewu. Ia masih setia, bernyanyi mars perjuangan....

"pahlawan sejati...adalah pangeran Diponegoro", katanya menutup kisah perjalanannya.

Satu hal yang ingin kumaknai....Tunggak adalah pahlawan sejati yang tidak gila hormat dan kekuasaan. Pahlawan yang seharusnya dicontoh oleh para pejabat dan petinggi negara kita, bahwa kekuasaan yang diberikan kepada mereka bukanlah sesuatu yang seharusnya membuat mereka dielu-elukan. Namun,kekuasaan seharusnya menjadi tanggungjawab untuk memberikan teladan dan pelayanan...tidak takut pada kemiskinan dan kemelaratan....

Jika kita membela apapun dan siapapun juga...bersiaplah untuk terluka, manakala sesuatu atau siapapun yang pernah kita bela mungkin melupakan semua yang sudah kita lakukan untuknya:)...seperti bangsa ini....

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home